23.4.06

Sang Pembawa Sorga

Sang Pembawa Sorga

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُواْ النِّسَاء كَرْهاً وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُواْ بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلاَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً - النساء –18
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka, karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Q.S An Nisa’ . 18)

Yang dimaksud “tidak halal bagi kamu mewariskan wanita dengan jalan paksa” dalam ayat ini sama sekali tidak menunjukan bahwa mewariskan wanita yang tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewariskan janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris tersebut atau sama sekali tidak dibolehkan kawin lagi. Sedangkan yang dimaksud “pekerjaan keji yang nyata” tersebut adalah berzina atau membangkang dari perintah.

Walaupun hubungan antara pria dan wanita telah seujur usia bumi ini, namun keharmonisan hubungan tersebut belum bisa disejajarkan dengan sejarah panjangnya dialog seputar isu-isu sosial kewanitaan, status, hak dan lain-lainnya yang acap kali menimbulkan ketimpangan pemahaman diantara dua penghuni bumi tersebut, apalagi sebelum datangnya ajaran agama islam.

Semua itu terlahir dari berbagai pandangan, karena tidak semua laki-laki sama dalam memandang wanita, ada yang menganggap wanita itu sebagai bunga yang harus dijaga, ada yang menganggap hanya untuk dipetik saja, dan bisa diperjual belikan atau bahkan ada yang membiarkannya bebas berkeliaran di kebun-kebun pengembaraan. Begitupun sebaliknya, dan berbagai pandangan bebas itu tampak jelas dalam lembaran sejarah sesuai dengan kepercayaannya masing-masing.

Peradaban Mesir Kuno misalnya, mengganggap wanita hanya sebagai “pelengkap penderita” bagi laki-laki. Tak heran kalau seorang raja memiliki puluhan gundik atau gadis-gadis tawanan. Bahkan, menurut Dr Ali Abdul Halim Mahmud dalam bukunya al-Mar’ah al-Muslimah wal Fiqhu Da’wah Ilallah, banyak di antara raja Mesir yang menikahi saudara perempuannya sendiri atau bahkan putrinya sendiri.

Selain itu, kisah tentang persembahan gadis cantik untuk sungai Nil dan kisah tentang adanya para penari wanita di negeri Mesir tak asing lagi di telinga kita. Semuanya ini menunjukkan betapa rendahnya kondisi wanita di zaman peradaban Mesir Kuno.

Di negeri Babylonia, nasib kaum Hawa tak jauh beda. Mereka dianggap barang dagangan yang bisa dijual belikan seenaknya. Menurut salah satu undang-undang Babylonia dulu, bila seorang istri sedang ditinggal pergi suaminya, ia bisa hidup dengan laki-laki lain sampai suaminya kembali. Praktik pelacuran adalah kebiasaan yang diwarisi di negari Babylonia ini hingga dihapuskan sekitar tahun 250 SM.

Menurut peradaban Cina, seorang suami boleh menjual istrinya kalau ia memerlukan uang. Seorang istri tak boleh makan bersama suaminya. Ia hanya diperkenankan makan dari sisa-sisa suaminya. Peradaban Cina Kuno juga membuat peraturan yang menempatkan wanita sebagai pemuas nafsu laki-laki. Marco Polo, pemimpin ekpedisi Spanyol pernah menyaksikan segerombolan pelacur di Cina saat ia datang ke tempat itu. Pemerintah Cina kala itu memang sengaja “memelihara” mereka untuk dipersembahkan kepada para tamu.

Pemerintah Yunani Kuno mengakui adanya praktik prostitusi secara resmi. Mereka dikenakan pajak untuk disetor pada negara. Dari penghasilan ini, pemerintah menganggap sumber ekonomi yang paling penting.

Menurut peradaban India Kuno, wanita tak punya hak sedikit pun untuk menentukan suami. Di antara mereka, banyak yang diwajibkan menjadi pelayan-pelayan Tuhan atau Kuil. Mereka diwajibkan melayani para tokoh Kuil yang dikenal dengan Dukun Brahmana. Undang-undang Peradaban India hanya membolehkan delapan macam perkawinan yang semuanya tak menjamin kehormatan wanita.

Beberapa ajaran agama-agama selain Islam pun menganggap kaum Hawa tak lebih dari sumber malapetaka. Misalnya, orang-orang Yahudi dan Nasrani menganggap yang membujuk Nabi Adam untuk memakan buah terlarang adalah istrinya, Hawa. Dialah yang telah membisiki Adam dan membujuknya untuk memakan buah tersebut. Dari sini kemudian wanita dianggap sebagai penyebab pertama “malapetaka kemanusiaan”. Wanitalah yang telah menyebabkan Adam dan keturunannya dikeluarkan dari surga (Qardhawi Bicara Soal Wanita, Arasy, Maret 2003).

Agama Hindu pun sama. Ia menganggap wanita sebagai makhluk yang paling berbahaya, lebih berbahaya daripada api. Wanita dianggap makhluk yang berbahaya melebihi ular. Agama Yahudi juga tak memberikan tempat terhormat bagi wanita. Dalam pandangan agama ini, wanita tak mempunyai hak kepemilikan, hak waris, dan merupakan makhluk terkutuk.

Agama Kristen pun memandang hina wanita. Kata Paus Turtulianus, “Wanita adalah pintu gerbang setan, masuk dalam diri laki-laki untuk merusak tatanan Tuhan dan mengotori wajah Tuhan yang ada pada laki-laki.”

Pada zaman Jahiliyah menjelang diutusnya Rasulullah saw, kedudukan wanita pun tak kalah hinanya. Bangsa Arab kala itu sangat membenci anak perempuan. Mereka tak segan-segan menguburnya hidup-hidup.

Di sisi lain, wanita sangat didewakan, disanjung dan dipuja. Dia diberikan posisi bebas. Dengan alasan Hak Asasi Manusia, wanita diberikan kebebasan melakukan apa saja, termasuk memikat daya tarik laki-laki dengan menjadi bintang iklan. Mereka juga dibolehkan bergaul bebas dengan lawan jenis.

Dengan dalih emansipasi, wanita diminta memberontak dari ajaran agamanya. Untuk mendukung ide emansipasi, kaum Feminis mengungkap fakta bahwa banyak kaum wanita yang memiliki otak brilian seperti laki-laki. Dengan dalih tersebut, mereka ingin menyejajarkan wanita dan pria pada satu tingkat dalam segala hal. Kodrat alamiah wanita diabaikan, bahkan kalau mungkin dialihkan kepada laki-laki.

Di Amerika, tempat lahirnya Gerakan Pembebasan Wanita, gerakan emansipasi atas nama demokrasi dianggap “berhasil”. Tapi bagaimana fakta sebenarnya? Kendati jumlah wanita bekerja meningkat, tapi pendapatan ekonomi mereka rata-rata menurun. Dua dari tiga orang dewasa yang miskin adalah wanita. Tingkat upah pun ternyata tak berubah. Data tahun 1985 menunjukkan tingkat upah rata-rata wanita di AS adalah 64 % dari tingkat pria, sama dengan tahun 1939.

Kekerasan terhadap wanita di negeri yang mengaku paling demokratis ini pun sangat tinggi. Wanita mengalami tindak kekerasan di setiap delapan detik! Setiap jam sebanyak 78 anak gadis diperkosa. Data lain menyebutkan, sekitar 13 % atai 12,1 juta anak gadis Amerika sudah pernah diperkosa lebih dari satu kali. Yang lebih mengejutkan, enam dari sepuluh anak yang diperkosa (61%) belum mencapai usia 18 tahun. 29 % dari korban perkosaan rata-rata berumur 11 tahun, dan 32 % dari mereka berumur antara 11 sampai 17 tahun.

Di Jerman, negara yang juga dianggap menghormati wanita, menurut penelitian, setiap lima belas menit terjadi perkosaan terhadap wanita. Jadi, menurut data kepolisian setempat, terdapat 35.000 wanita yang diperkosa. Data riil di lapangan tentu lebih banyak (Maisar Yasin, Wanita Karir dalam Perbincangan, hlm 96).

Di Maroko, presentase rata-rata yang buta huruf itu 67 % nya wanita, seperti yang diaransir koran ahdats al magribiyah inipun bentuk dari tradisi lama kaum pria yang menempatkan posisi wanita hanya untuk didapur. Dan itulah salah satu dari tujuan direvisinya UU kekeluargaan yang lebih menitik beratkan kepada meningkatkan derajat kaum wanita sekarang ini.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Dalam sejarah indonesia telah jauh mengawali dan menyadari akan kualitas dan peran serta kedudukan perempuan melalui penegakan hak di segala bidang dengan didirikannya organisasi “Putri Merdeka” pada tahun 1912. Sehingga dengan didirikannya organisasi tersebut telah menggugah organisasi kewanitaan lainnya, seperti Aisyah, Muslimat dan Persis untuk bahu-membahu mengangkat citra perempuan Indonesia kala itu. Bahkan tepat pada tanggal 22 Desember 1928, wanita Indonesia mampu menyelenggarakan kongres Perempuan Indonesia yang sekarang kita hormati sebagai hari Ibu. Sedangkan PBB baru mendeklarasikan hari Ibu sedunia pada tahun 1975 di Mexico City.

Semoga peringatan itu tidak sebatas seremonial, namun mampu mengurangi berita kasus perkosaannya derap hukum SCTV, menghapus kisah pelacurannya nah ini dia Pos Kota, menghilangkan iklan berpose wanita populer dimajalah Popular dan sederet kasus lainnya yang mengamini salah satu filsafat yunani “Homo Homini Lopus” manusia bagi manusia lainnya adalah serigala.

Dan Islam melalui Al Qur’an dan Sunahnya tanpa diperingatipun telah lama memperingatkan kita, “bil ma’ruf” atau dengan patut dalam ayat ke 19 Surat An-Nisa tersebut adalah perintah kepada mereka yang beriman untuk memperlakukan wanita itu dengan cinta, kasih sayang dan penghormatan sebagai sesama hamba Allah.

Dirgahayu Ibuku, kami semua mendambakan sorga itu masih berada ditelapak kakimu…(wallahua’lam bissowab).